Selasa, 28 Oktober 2008

INDAHNYA HIDUP DALAM IMAN

INDAHNYA HIDUP DALAM IMAN

Firman Allah swt:

Artinya:

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar” (Q.s. al-Hujurat: 17).

Pemandangan dunia; daratan, lautan, udara dengan berbagai aksesorisnya, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan sangatlah indahnya. Bahkan dari keindahan semua itu ada yang lebih indah lagi, yakni perempuan yang shaleh (baik). Rasulullah saw bersabda: “Dunia adalah hiasan, dan seindah-indah hiasan adalah perempuan yang shaleh” (al-Hadits).

Betapa bahagianya orang-orang yang sehat matanya; Dengan matanya yang sehat, mereka dapat menyaksikan keindahan-keindahan tersebut. Dengan matanya yang sehat, mereka dapat membedakan yang terindah dari yang indah-indah tersebut. Sebaliknya, betapa sengsaranya orang-orang yang buta; Dengan kebutaan itu, mereka tidak dapat melihat keindahan-keindahan tersebut, segalanya terlihat hitam. Dengan kebutaan itu, mereka tidak dapat membedakan mana yang terindah dari yang indah-indah tersebut, segalanya tampak sama, segala-galanya terlihat hitam gelap.

Orang-orang yang tahu betapa mahalnya nilai sepasang mata, mereka akan menjaganya dengan segenap kemampuannya, bahkan sekalipun harus bekorban nyawa. Jika kedua mata tersebut mengalami sakit, mereka tidak segan-segan mengeluarkan semua hartanya, demi mengobati kedua matanya yang sakit tersebut.

Allah Maha hebat lagi Maha indah; Allah pendesign, pencipta, pemilik dan penggenggam alam semesta. Allah penguasa langit dan bumi, peguasa dunia akhirat. Allah Maha besar, Maha tinggi, Maha kuat, dan Maha kokoh kedudukan-Nya. Allah Maha suci, Maha mulia, Maha lembut, Maha pemaaf, Maha pengasih dan penyayang, tetapi Allah Maha keras siksa-Nya. Tidak ada satupun yang menyamai-Nya, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sekalipun jin dan manusia seluruhnya berkumpul memuji-muji-Nya, membesar-besarkan asma-Nya, maka tetaplah teramat kecil pujian-pujian tersebut jika dibandingkan dengan ketinggian, kemuliaan dan kebesaran-Nya.

Betapa bahagianya orang-orang yang sehat imannya; Dengan imannya yang sehat, mereka dapat menyaksikan ayat-ayat yang bercerita tentang Allah. Dengan imannya yang sehat, mereka dapat menyaksikan ayat-ayat yang menjelaskan betapa kecil dan tidak berartinya makhluk-makhluk Allah bila dibandingkan dengan kehebatan dan kemuliaan Allah. Sebaliknya, betapa sengsaranya orang-orang yang buta imannya; Dengan imannya yang buta, mereka tidak dapat menyaksikan ayat-ayat yang bercerita tentang Allah. Dengan imannya yang buta, mereka tidak dapat menyaksikan ayat-ayat yang menjelaskan betapa kecil dan tidak berartinya makhluk-makhluk Allah bila dibandingkan dengan kehebatan dan kemuliaan Allah. Bahkan sekalipun Allah menurunkan malaikat dalam bentuk aslinya, sekalipun Allah membuat mayat-mayat bergentayangan bisa ngomong, dan sekalipun Allah mengumpulkan seluruh jenis binatang, dari yang tidak buas hingga yang buas menghamai atau mengerumuni mereka, dan seluruh air laut naik menenggelamkan mereka, dan seluruh topan badai menyapu bersih mereka, dan sebagainya, mereka tetap juga tidak akan beriman kepada Allah, kecuali jika Allah berkehendak menjadikan mereka semua beriman, mereka kebanyakan memilih hidup dalam kejahilan (Q.s. al-An’am: 111).

Pantas kalau kini kita dapat menyaksikan ada banyak orang-orang yang memberhalakan hawa nafsu, ada banyak orang-orang yang memberhalakan harta, pangkat dan jabatan, ada banyak orang-orang yang memberhalakan dirinya sendiri, memberhalakan jin, manusia, hewan, pepohonan, patung-patung yang dibuatnya sendiri, hingga mantra-mantra sihir dan benda-benda keramat lainnya.

Orang-orang yang tahu betapa mahalnya nilai iman, mereka akan menjaganya dan melindunginya dengan segenap kemampuannya dari noda-noda dosa yang dapat mengotorinya. Orang-orang yang tahu betapa mahalnya nilai iman, mereka akan menjaganya dan melindunginya sekalipun harus bekorban harta dan nyawa, mereka rela hartanya dirampas, tubuhnya disiksa, dan nyawanya dicabut, asalkan mereka dapat menjaga dan melindungi imannya; Nabi Ibrahim as rela dibakar hidup-hidup dan rela diusir ayahnya dari kehidupan kerajaan yang bergelimang kekayaan demi menjaga dan melindungi imannya, Maryam rela mati dipanggang hidup-hidup oleh Fir’aun demi menjaga dan melindungi imannya, Bilal bin Rabah rela diikat, disiksa di atas batu, dibawah terik matahari tanpa setetes minuman dan sesuap makanan oleh tuannya demi menjaga dan melindungi imannya, dan masih banyak lagi manusia-manusia yang rela disiksa, rela kehilangan harta, bahkan rela kehilangan nyawa demi menjaga dan melindungi imannya.

Sebaliknya kini, banyak kita saksikan betapa banyak umat Islam yang menanggalkan keimanannya hanya karena hal-hal yang sepele; Hanya karena susah mendapatkan harta, tahta atau wanita, mereka tak segan-segan menanggalkan imannya, mereka datangi dukun meminta mantra-mantra sihirnya, mereka meminta susuk atau azimat. Hanya karena hidup didera cacat pisik, sakit atau miskin, mereka tak segan-segan menggadaikan imannya, mengikuti keimanan orang-orang yang menolongnya, sekalipun orang-orang yang menolongnya berlainan keimanan dengannya. Dan banyak lagi aksi manusia untuk membutakan imannya, yakni dengan memberhalakan hawa nafsunya, melalaikan perintah Allah dan melanggar larangan Allah; melakukan berbagai macam rupa maksiat, dari yang terkecil hingga yang terbesar.

Iman adalah cahaya yang menerangi alam keghaiban. Dengan cahaya itu hati manusia percaya adanya Allah, percaya adanya malaikat-malaikat Allah, percaya adanya rasul-rasul Allah, percaya adanya kitab-kitab Allah, percaya adanya hari akhirat, dan percaya adanya qadha dan qadar Allah. Dengan percaya adanya Allah, percaya adanya malaikat-malaikat Allah, percaya adanya rasul-rasul Allah, percaya adanya kitab-kitab Allah, percaya adanya hari akhirat, dan percaya adanya qadha dan qadar Allah, lisan manusia berani men(syahadah)kan: “Tiada Tuhan (ilah) selain Allah, dan nabi Muhammad saw rasul Allah”. Dan dengan percaya adanya Allah, percaya adanya malaikat-malaikat Allah, percaya adanya rasul-rasul Allah, percaya adanya kitab-kitab Allah, percaya adanya hari akhirat, dan percaya adanya qadha dan qadar Allah, tubuh manusia tanpa merasa bosan dan lelah melaksanakan perintah-perintah Allah, tanpa merasa bosan dan lelah menjauhi larangan-larangan Allah, dan tanpa merasa bosan dan lelah berjuang di jalan (fi sabiili) Allah dengan mengorbankan segenap kemampuannya; fisik, ilmu, harta, do’a, hingga nyawanya (Q.s. al-Anfal: 2-4 dan al-Hujurat: 14-15).

Percaya (iman) adanya Allah, percaya (iman) adanya malaikat-malaikat Allah, percaya (iman) adanya rasul-rasul Allah, percaya (iman) adanya kitab-kitab Allah, percaya (iman) adanya hari akhirat, dan percaya (iman) adanya qadha dan qadar Allah adalah sesuatu yang integral, tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya; beriman hanya kepada Allah tetapi tidak beriman kepada rasul-rasul Allah, atau beriman hanya kepada Allah dan kepada Rasulullah Muhammad saw tetapi tidak beriman dengan rasul-rasul Allah yang lainnya adalah kekafiran yang nyata.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) diantara yang demikian (iman atau kafir), mereka adalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya…” (Q.s. an-Nisa: 150-151).

Setinggi-tinggi nilai sholat sunat adalah sholat di malam hari (sholatul lail), setinggi-tinggi nilai hari beribadah adalah hari jum’at (sayyidul ayyaam), setinggi-tinggi nilai bulan beribadah adalah bulan Ramadhan (sayyidusy syuhuur), setinggi-tinggi nilai malam beribadah adalah malam kemuliaan (lailatul qadr), setinggi-tinggi nilai tempat beribadah adalah di masjid al-haram (Baitullah), dan setinggi-tinggi karya (amal) ibadah adalah percaya (iman) dan terus mempertebal kepercaya(iman)an adanya Allah, percaya (iman) dan terus mempertebal kepercaya(iman)an adanya malaikat-malaikat Allah, percaya (iman) dan terus mempertebal kepercaya(iman)an adanya rasul-rasul Allah, percaya (iman) dan terus mempertebal kepercaya(iman)an adanya kitab-kitab Allah, percaya (iman) dan terus mempertebal kepercaya(iman)an adanya hari akhirat, dan percaya (iman) dan terus mempertebal kepercaya(iman)an adanya qadha dan qadar Allah.

Dari Abu Hurairah memberitakan: “Bahwasanya Rasulullah saw ditanya kepadanya: Mana dari macam-macam karya(amal)an yang paling utama?. Maka bersabda Nabi saw: Iman akan Allah dan akan Rasul-Nya. Ditanya lagi: Kemudian apa?. Bersabda Nabi saw: Berjihad di jalan(sabiil) Allah. Ditanya lagi: Kemudian apa?. Bersabda Nabi saw: Haji yang diterima(maqbul) Allah” (H.R Bukhari dan Muslim).

Ketinggian nilai iman menempati rating ibadah yang pertama dan utama juga dijelaskan Allah swt dalam firman-Nya:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari siksa yang pedih?, (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad di jalan (sabiil) Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya” (Q.s. ash-Shaaff: 10-11).

Betapa besar penghargaan Allah terhadap iman, hingga sekecil apapun iman tanpa dinodai nilai-nilai syirik merupakan jaminan manusia untuk masuk surga.

Rasulullah saw bersabda:

Artinya:

“Masuk orang-orang yang telah ditimbang dan diputus menjadi penghuni surga ke surga, dan masuk orang-orang yang telah ditimbang dan diputus menjadi penghuni neraka ke neraka, kemudian Allah berkata kepada para malaikat: “keluarkan dari neraka orang yang masih ada di hatinya sebesar biji sawi dari iman” (al-Hadits).

Tidaklah ketinggian ilmu melebihi ketinggian iman. Banyak orang-orang atau bangsa-bangsa yang berilmu dibinasakan Allah; Fir’aun adalah salah satu tokoh politik yang ulung, namun akhir perjalanan dari ketinggian ilmu politiknya sangat tragis, Fir’aun ditenggelamkan Allah di tengah laut. Qarun adalah salah satu tokoh ekonom yang paling sukses di dunia, namun akhir perjalanan dari ketinggian ilmu ekonominya sangat tragis pula, Qarun beserta harta-hartanya ditenggelamkan Allah di dalam bumi. Kaum ‘Aad dan kaum Tsamud adalah dua bangsa yang paling unggul dalam hal pembangunan kota, bangunan-bangunannya yang kokoh, taman-taman kotanya yang indah, sehingga dikatakan tidak ada bangsa-bangsa manapun pada masa itu yang mampu menyamai mereka dalam hal pembangunan kota (Q.s. al-Fajr: 7), namun akhir perjalan dari ketinggian ilmu bangun kotanya juga sangat tragis, kaum ‘Aad dan kaum Tsamud dibinasakan Allah sebinasa-binasanya. Sebaliknya, sejelek-jelek apapun rupa, semiskin-miskin apapun harta, dan serendah-rendah apapun ilmu, namun memiliki iman yang tinggi, itulah manusia atau bangsa yang ditinggikan Allah; Masithah hanyalah seorang perempuan yang hari-harinya habis bekerja sebagai tukang sisir rambut Fir’aun, namun karena imannya yang tinggi itulah membuat Masithah mendapat tempat yang tinggi di sisi Allah.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Janganlah kamu merasa hina, merasa rendah diri (berjalan di muka bumi ini), dan jangan pula kamu merasa sedih, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (Q.s. Ali-Imran: 139).

Firman Allah swt:

Artinya:

“Allah meninggikan derajat-derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan…” (Q.s. al-Mujadilah: 11).

Berada di puncak ketinggian bukanlah tanpa konsekwensi, angin yang bertiup di tempat-tempat yang tinggi tentu lebih kencang dari angin yang bertiup di tempat-tempat yang rendah. Menghadapi tiupan angin yang kencang tentu menimbulkan ketakutan, kedinginan, kelaparan, dan kelelahan. Jika tidak dibekali dengan mental yang shabar, motivasi yang tinggi, pisik yang kuat, dan berbagai kecerdasan, maka mustahil sang pemanjat tebing atau pendaki gunung berhasil meraih dan bertahan di tempat-tempat yang tinggi tersebut. Begitupula hidup sebagai orang-orang yang beriman bukanlah tanpa konsekwensi, ujian demi ujian keimanan pasti datang mendera; perintah demi perintah Allah harus dilaksanakan, larangan demi larangan Allah harus ditinggalkan, godaan hawa nafsu dan nilai-nilai material atau duniawi, godaan syaithan, hingga kecemburuan atau kedengkian agamis dari orang-orang yang tidak beriman; Yahudi, Nashrani, Musyrikiin, dan Munafiqiin serta kejahatan orang-orang yang Dzhaalimiin harus dihadapi.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka akan dibiarkan (begitu saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji?” (Q.s. al-Ankabut: 2).

Firman Allah swt:

Artinya:

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka adalah Jahanam, dan Jahanam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya” (Q.s. Ali-Imran: 196-197).

Firman Allah swt:

Artinya:

“Iblis berkata: Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka yang berterima kasih (beribadah kepada Engakau)” (Q.s. al-A’raf: 16-17).

Firman Allah swt:

Artinya:

“Orang-orang Yahudi dan tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka,…” (Q.s. al-Baqarah: 120).

Firman Allah swt:

Artinya:

“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran…” (Q.s. al-Baqarah: 109).

Firman Allah swt:

Artinya:

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan” (Q.s. Ali-Imran: 186).

Dengan iman hidup penuh motivasi tinggi

Dengan motivasi segalanya akan menjadi ringan. Motivasi ibarat mesin yang dapat menggerakkan seberat apapun baja-baja pesawat terbang. Setinggi-tingginya motivasi adalah pujian, cinta, ridho, kasih sayang, dan surga-Nya Allah. Dan dengan cahaya iman itulah manusia dapat hidup dalam motivasi tersebut, dan dengan motivasi yang besar itulah manusia dapat melaksanakan tugas-tugas mulia, seberat apapun tugas-tugas mulia tersebut, baik sebagai hamba maupun sebgai khalifah Allah dimuka bumi, memelihara eksistensi bumi dari kepunahannya sebelum masa kepunahan (kiamat) itu tiba.

Dengan iman hidup penuh dengan kontrol

Dengan kontrol hidup akan bersih; Murid yang merasa dikontrol gurunya saat melakukan ujian, tidak akan berani mencontek. Pengguna jalan raya yang merasa dikontrol polisi saat berjalan di jalan raya, tidak akan berani ugal-ugalan. Maling yang merasa dikontrol satpam sekalipun merasa ada kesempatan untuk mencuri, tetap tidak akan berani melakukan pencurian. Dan setinggi-tinggi kontrol adalah kontrol Allah, dan dengan cahaya imanlah manusia dapat merasa hidup dalam kontrol Allah; Kata-kata akan terkontrol, tidak akan berkata sia-sia, tidak akan menghina, menfitnah, mengadu domba, apalagi memprovokasi. Tangan akan terkontrol, tidak akan mencuri, mengkorupsi hak-hak orang lain, tangan akan terkontrol, tidak akan melukai, menyiksa, melakukan teror apalagi membunuh secara tidak hak. Kemaluan akan terkontrol, tidak akan melakukan perzinahan, dan hubungan seksual sesama jenis. Dan segalanya akan terkontrol.

Dengan iman hidup penuh dengan nilai ibadah

Salah satu hal yang menyedihkan adalah apabila apapun karya (amal) kebaikan kita tidak mendapatkan apresiasi sama sekali; Seorang laki-laki datang dengan penampilan yang serba meyakinkan sambil menyuguhkan kata-kata indah penuh puitis disertai dengan serangkaian bunga dan kalimat-kalimat yang meyakinkan kepada seorang perempuan yang dicintainya, namun betapa sedihnya ketika segala yang diperbuatnya tidak mendapatkan apresiasi sama sekali dari perempuan yang dicintainya tersebut. Seorang bintang sinetron berusaha untuk tampil baik, bekerja siang malam, menghapal script cerita, melakonkan di depan kamera dengan segenap perasaan, namun betapa sedihnya ketika segala hasil kerjanya tersebut tidak mendapatkan apresiasi sama sekali dari penonton. Begitupula betapa sedihnya jika karya-karya (amal-amal) kebaikan yang kita lakukan selama masa hidup kita tidak mendapatkan apresiasi sama sekali dari Allah, seperti pengorbanan Qabil putra Adam as, dan keshalehan Abu Thalib paman Rasulullah saw. Dan hanya dengan cahaya iman, sekecil apapun karya (amal) kebaikan yang kita lakukan akan mendapatkan apresiasi dari Allah, akan bernilai ibadah.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Demi masa, sesungguhnya manusia (yang tidak beriman menghabiskan masa hidupnya) dengan kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan melakukan karya-karya (amal-amal) kebaikan, dan saling mendakwahkan kebenaran dan saling mendakwahkan keshabaran” (Q.s. al-‘Ashr: 1-3).

Dengan iman hidup penuh dengan bahagia.

Saat-saat yang membahagiakan bagi sang pecinta adalah ketika dia berjumpa dengan yang dicintainya; anak yang mencintai orang tua akan bahagia di saat-saat dia berjumpa dengan orang tuanya, orang tua yang mencintai anak akan bahagia di saat-saat dia berjumpa dengan anaknya, pecinta harta akan bahagia di saat-saat dia melihat hartanya, pecinta pangkat jabatan akan bahagia di saat-saat dia mendapatkan pangkat dan jabatan itu, pecinta perempuan akan bahagia di saat-saat dia berjumpa dengan perempuan yang dicintainya itu, pecinta tanah air akan bahagia di saat-saat dia kembali berada di tanah airnya, dan orang-orang yang beriman seutama-utama dan sedahsyat-dahsyat cintanya adalah cintanya kepada Allah (Q.s. al-Baqarah: 165), dan mereka akan bahagia di saat-saat mereka dapat berjumpa dengan Allah, dan dengan cahaya iman itulah orang-orang yang beriman diantarkan untuk dapat berjumpa dengan Allah, baik melalui lantunan-lantunan zikir dan tafakkurnya; dalam keadaan duduk, berdiri, maupun dalam keadaan berbaring, melalui lafadz-lafadz dan gerakan-gerakan sholatnya dan melalui lafadz-lafadz do’a-do’anya, dan melalui bacaan-bacaan Qur’annya.

Dengan iman hidup penuh dengan keberanian

Keberanian adalah senjata utama untuk memenangkan pertarungan, dan keberanian itu timbul manakala manusia merasa dirinya lebih kuat dari orang lain; Soekarno Hatta walaupun hanya dua tubuh kecil yang tak punya kekuatan apa-apa untuk menghadapi penjajah, tapi berani memproklamirkan kemerdekaannya, karena merasa begitu kuat setelah diri mereka merasa dilindungi oleh segenap bangsa Indonesia yang ketika itu haus akan kemerdekaan, dan sekuat-kuat pelindung adalah Allah. Dan hanya dengan cahaya iman, manusia merasa hidup dalam perlindungan Allah; dengan perlindungan Allah manusia berani menghadapi kerasnya hidup di dunia ini; dan dengan perlindungan Allah manusia berani menghadapi musuh-musuhnya; Jendral Soedirman walaupun dalam keadaan sakit, ditandu, tetapi Sang Jendral tetap tegar berani menghadapi penjajah Belanda di medan Gerilya. Dan berapa banyak para Mujahidin walaupun dengan jumlah pasukan yang sedikit dan peralatan perang yang minim, namun mereka tetapi dengan gagah berani berjuang di jalan (sabiil) Allah mempertaruhkan harta dan nyawanya menghadapi musuh-musuh Allah.

Dengan iman hidup penuh dengan ketenangan

Fikiran-fikiran negatif tentang hidup ini memang biasanya membawa manusia hidup dalam kegelisahan. Ketidak percayaan terhadap masa depan dunia akibat terjadinya berbagai krisis multi demensi; krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial, dan bencana demi bencana alam memang menimbulkan kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan. Namun dengan cahaya iman, hidup akan tenang, dengan cahaya iman itulah manusia mempercayakan, mewakilkan, menyerahkan (tawakkal) hidupnya kepada Allah.

Oleh sebab itu mari kita menjemput dan mempertebal iman dengan memperbanyak bertafakkur dengan membaca sebanyak-banyaknya ayat-ayat yang bercerita dan menjelaskan tentang Allah, baik ayat-ayat Allah yang bersifat Qur’aniyah maupun ayat-ayat Allah yang bersifat Kauniyah. Kemudian disertai banyak berdzikir, baik dengan menyebut asma’-asma’ Allah maupun membaca firman-firman atau kalimah-kalimah Allah, baik dalam keadaan duduk, berdiri, maupun dalam keadaan berbaring, berdzikir dengan lafadz-lafadz dan gerakan-gerakan sholat maupun do’a.

MENYIKAPI BENCANA DENGAN SIKAP DAN PANDANGAN POSITIF

MENYIKAPI BENCANA DENGAN KARYA (AMAL) TERBAIK

Firman Allah swt:

Artinya:

“Maha suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Q.s. al-Mulk: 1-2).

Hidup bagaikan bermain dalam sebuah sinetron atau dalam sebuah pentas teater; ada peran tangis dan ada peran tawa, ada peran miskin dan ada peran kaya, ada peran hidup susah dan ada peran hidup bahagia. Dua sisi peran yang berbeda yang tidak akan pernah lepas dalam kehidupan para pemain sinetron atau pemain teater. Dan pemain yang dapat memainkan peran-peran yang diberikan Sang sutradara dengan permainan yang terbaik itulah yang akan mendapatkan pujian dan penghargaan dari Sang sutradara. Sebaliknya, pemain yang tidak dapat memainkan peran-peran yang diberikan Sang sutradara dengan permainan yang terbaik, mereka akan mendapatkan hinaan dan hukuman dari Sang sutradara.

Begitulah hidup di atas dunia ini; tangis dan tawa, miskin dan kaya, susah dan bahagia adalah telah menjadi sunnatullah (ketetapan) Allah. Sekalipun Allah memberikan hak kebebasan kepada manusia untuk memilih dan meraih satu sisi kehidupan saja (kehidupan yang dipenuhi dengan tawa, kaya, dan bahagia), namun satu sisi kehidupan yang lain (kehidupan yang dipenuhi dengan tangis, miskin,dan susah) tidak akan dapat dihindari oleh semua manusia. Dan manusia yang dapat menjalani hidup ini, baik kehidupan yang dipenuhi dengan tawa, kaya, dan bahagia, maupun kehidupan yang dipenuhi dengan tangis, miskin,dan susah dengan karya (amal) terbaik itulah yang akan mendapatkan pujian, ridha, cinta, kasih sayang dan surga-Nya Allah. Sebaliknya, manusia yang tidak dapat menjalani hidup ini, baik kehidupan yang dipenuhi dengan tawa, kaya, dan bahagia, maupun kehidupan yang dipenuhi dengan tangis, miskin,dan susah dengan karya (amal) terbaik, mereka adalah orang-orang yang akan mendapatkan murka dan siksa-Nya Allah.

Kini dunia sedang dihadapkan dengan berbagai macam bencana, yang beberapa diantaranya; bencana sosial, bencana ekonomi, dan bencana alam. Bencana memang menyisakan banyak luka, baik luka pisik maupun luka psikologis, menimbulkan banyak kehilangan harta, baik rumah, emas permata, dan bahkan melenyapkan banyak nyawa. Namun bencana demi bencana janganlah dijadikan dalil pembenaran bagi manusia untuk melakukan karya (amal) tercela, seperti menjerumuskan diri ke lembah maksiat, obat-obatan terlarang, aksi bunuh diri, dan bahkan penukaran akidah tauhid kepada kemusyrikan. Ibarat pepatah: “Sudah jatuh ketimpa tangga”. Sudah ditimpa bencana, ditimpa dosa-dosa besar lagi. Dunia bukanlah akhir perjalanan hidup manusia, kegagalan hidup di dunia bukanlah kegagalan yang hakiki, kegagalan hidup di dunia tidaklah membuat manusia hina. Akhirat adalah kebutuhan hidup yang hakiki, kegagalan hidup di akhirat adalah kegagalan yang hakiki, kegagalan hidup di akhirat itulah kehinaan yang sejati.

Allah tidak menciptakan segala sesuatunya dengan sia-sia (Q.s. Ali-‘Imran: 192). Hanya tinggal bagaimana manusia dapat membangun pikiran dan sikap positif terhadap kehidupan ini. Atau dengan kata lain, bagaimana manusia dapat menyikapi hidup ini dengan karya (amal) yang terbaik; Kotoran sapi atau kerbau jika dipandang dan disikapi secara negatif, maka kotoran tersebut tetaplah akan menjadi kotoran yang berbau dan menimbulkan penyakit. Namun jika kotoran sapi atau kerbau tersebut dipandang dan disikapi secara positif, maka kotoran tersebut insya Allah akan dapat memberikan nilai dan manfaat bagi manusia, seperti menjadi pupuk, biogas, dan sebagainya. Nasi yang telah menjadi bubur jika dipandang dan disikapi secara negatif, maka nasi yang telah menjadi bubur tetaplah menjadi bubur yang tidak enak rasanya. Namun jika nasi yang telah menjadi bubur dipandang dan disikapi secara positif, maka nasi yang telah menjadi bubur tersebut insya Allah akan dapat memberikan nilai dan manfaat bagi manusia, seperti dibuat bubur ayam yang terasa lezat dan bernilai jual.

Demikian pula halnya pada berbagai macam bencana yang terjadi di berbagai belahan dunia, yang beberapa diantaranya; bencana sosial, bencana ekonomi, dan bencana alam. Jika bencana-bencana tersebut dipandang dan disikapi secara negatif, maka bencana-bencana tersebut tetaplah akan menjadi bencana, bahkan akan menimbulkan bencana demi bencana yang lebih parah lagi. Namun jika bencana-bencana tersebut dipandang dan disikapi secara positif, maka bencana-bencana tersebut insya Allah akan dapat memberikan nilai dan manfaat bagi manusia; baik nilai dan manfaat yang bersifat fisik dan material, maupun nilai dan manfaat yang bersifat mental dan spiritual.

Banyak manusia atau bangsa yang meraih kesuksesannya setelah didera oleh berbagai macam bencana; Nabi Ibrahim as menjadi khaliilullah (orang yang paling dicintai oleh Allah) setelah terlebih dahulu dihadapkan pada hukuman bakar dan pengusiran yang dilakukan oleh bapaknya sendiri yang ketika itu menjabat sebagai raja, do’a yang memakan waktu begitu lama hingga usia yang sangat tua untuk mendapatkan anak sebagai penerus dakwah, dan perintah untuk menyembelih putra tercinta. Nabi Yusuf as menjadi petinggi negeri setelah terlebih dahulu dihadapkan dengan percobaan pembunuhan, pembuangan oleh saudara-saudaranya, fitnah dari keluarga kerajaan yang menyebabkan dirinya berada dalam penjara beberapa tahun lamanya. Nabi Ayyub as mendapat gelar ulul ‘Azmi setelah terlebih dahulu dihadapkan pada bencana penyakit yang sangat parah, harta yang musnah, dan ditinggalkan keluarga tercinta. Nabi Muhammad saw menjadi Rasul Allah untuk segala kaum yang ada di dunia, penutup para nabi, manusia yang paling dimuliakan Allah, dan manusia yang ditempatkan sebagai tokoh nomor satu di dunia setelah terlebih dahulu dihadapkan pada kehidupan yatim piatu di masa kanak-kanak, kemiskinan sejak masa kanak-kanak, lingkungan kehidupan sosial yang menyekutu (mensyirik)kan Allah, dihina, difitnah, dilempari batu dan diusir dari kota Tha’if, menyaksikan derita demi derita dan kematian demi kematian dari para kerabat dan sahabat, dan percobaan pembunuhan demi pembunuhan di berbagai medan hingga nyaris mati di medan perang Uhud. Dan banyak lagi manusia atau bangsa di berbagai belahan dunia yang meraih kesuksesannya setelah didera oleh berbagai macam bencana, seperti Jepang bangkit menjadi bangsa yang maju setelah terlebih dahulu dibom atom oleh sekutu.

Namun sebaliknya, tidak sedikit pula manusia yang gagal setelah didera oleh berbagai macam bencana; mereka bukan bangkit untuk melepaskan diri dari derita yang ditimbulkan oleh bencana tersebut dan bangkit untuk meraih kesuksesan, namun mereka semakin menceburkan diri ke dalam bencana yang lebih dalam lagi; mereka kehilangan akal, mereka jatuh ke lembah maksiat atau obat-obatan terlarang, mereka melakukan aksi bunuh diri, dan bahkan mereka menukar akidah tauhid kepada kemusyrikan.

Segala kenikmatan dan kesuksesan yang diraih manusia; kenikmatan dan kesuksesan berakidah dan beragama, kenikmatan dan kesuksesan berpolitik, kenikmatan dan kesuksesan berekonomi, kenikmatan dan kesuksesan bersosial dan berbudaya, kenikmatan dan kesuksesan bermiliter, semuanya adalah datangnya dari Allah. Allah pendesign, pencipta dan penyedia segala kenikmatan dan kesuksesan, dan Allah pula yang memotivasi, memerintah, dan menuntun manusia untuk meraih kenikmatan dan kesuksesan tersebut. Sebaliknya, segala bencana dan kegagalan yang menimpa manusia; bencana dan kegagalan berakidah dan beragama, bencana dan kegagalan berpolitik, bencana dan kegagalan berekonomi, bencana dan kegagalan bersosial dan berbudaya, bencana dan kegagalan bermiliter, semuanya adalah datangnya dari manusia. Allah memang pendesign, pencipta, penyedia materi dan sistem bencana, namun Allah tidaklah memerintahkan manusia untuk memilih bencana dan kegagalan, bahkan Allah tegas melarang manusia mencampakkan dirinya ke lembah bencana dan kegagalan (Q.s. al-Baqarah: 195), Allah memotivasi, memerintah, dan menuntun manusia untuk menghindari bencana dan kegagalan, namun manusia diberi oleh Allah hak pilih, kebebasan memilih; memilih kenikmatan dan kesuksesan atau memilih bencana dan kegagalan.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) diri kamu sendiri…” (Q.s. an-Nisa: 79).

Berbagai macam bencana yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak lepas dari tiga dimensi hukum:

Pertama, hukum sebab akibat.

Tidaklah bencana itu datang menimpa manusia di berbagai belahan dunia, melainkan karena manusia itu sendiri yang mengundang bencana itu datang.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Dan apa saja bencana yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…” (Q.s. asy-Syura: 30).

Pertunjukan yang indah akan mengundang cinta bagi setiap yang memandang. Sebaliknya, Pertunjukan yang jelek akan mengundang kebencian bagi yang memandang.

Begitulah apabila manusia telah menunjukkan moralitas yang rendah di hadapan Allah; perintah-perintah Allah telah diabaikan (ex: meninggalkan sholat, tidak berpuasa, tidak berzakat, tidak berhaji, tidak berjihad di jalan Allah), dan larangan-larangan Allah telah dilanggar (ex: kemusyrikan, perzinahan, perjudian, korupsi, pembunuhan dan berbagai maksiat lainnya telah merajalela), berarti manusia telah mempertunjukan tontonan yang jelek di hadapan Allah, dengan mempertunjukan tontonan yang jelek di hadapan Allah berarti manusia mengundang kebencian, kemurkaan Allah, dan dengan mengundang kebencian dan kemurkaan Allah berarti manusia mengundang azab Allah; Tidakkah cukup bukti bagi kita, ketika Allah memusnahkan umat nabi Nuh as dengan banjir besar melebihi gunung. Tidakkah cukup bukti bagi kita, ketika Allah memusnahkan kaum ‘Aad dengan angin kencang. Tidakkah cukup bukti bagi kita, ketika Allah memusnahkan kaum Tsamud dengan halilintar. Dan tidakkah cukup bukti bagi kita ketika Allah mengirim badai topan, hama belalang, hama kutu, hama kodok, mengubah air minum menjadi darah, dan menimpakan kekeringan yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan kepada Fir’aun dan pengikutnya.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Dan tidak ada satu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfudz)” (Q.s. al-Isra’: 58).

Apabila manusia telah menunjukkan moralitas yang rendah di hadapan sesama manusia; perkataan sudah tidak terpelihara (ex: menghina, menfitnah), tangan sudah tidak terpelihara (ex: mengkorupsi, mencuri hak-hak orang lain, menyiksa, melakukan teror dan membunuh manusia tanpa hak), berarti manusia telah mempertunjukan tontonan yang jelek di hadapan sesama manusia, dengan mempertunjukan tontonan yang jelek di hadapan sesama manusia berarti manusia mengundang kebencian dan permusuhan sesama manusia, dan dengan mengundang kebencian, permusuhan sesama manusia berarti manusia mengundang peperangan atau bencana sosial.

Dan apabila manusia telah menunjukkan moralitas yang rendah terhadap alam; penggundulan hutan, penciptaan pemanasan global, dan sebagainya, berarti manusia telah merusak ekosistem alam, dengan merusak ekosistem alam berarti manusia menciptakan alam yang tidak bersahabat, dan dengan menciptakan alam yang tidak bersahabat berarti manusia mengundang bencana alam.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka…” (Q.s. ar-Rum: 41).

Kedua, hukum ketetapan atau kepastian.

Tidaklah bencana itu datang menimpa manusia di berbagai belahan dunia, melainkan sudah menjadi ketetapan Allah.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya…” (Q.s. al-Hadid: 22).

Setiap manusia pasti berjalan menuju ke arah ajal kematiannya, ketika ajal kematian tiba maka tidak ada satupun manusia yang dapat menunda kematian tersebut atau menyegerakannya walaupun hanya sedetik. Dan bumipun pasti berjalan menuju ke arah ajal kehancurannya (Kiamat), perjalanan bumi menuju ke arah ajal kehancurannya (Kiamat) dapat diibaratkan dengan sebongkah es yang kita arahkan ke pusat api; apabila es tersebut jauh dari pusat api maka proses pencairan es akan berjalan dengan lambat, dan apabila es tersebut didekatkan dan semakin dekat ke pusat api maka akan semakin cepat es tersebut mengalami pencairan. Begitupula dengan bumi; apabila bumi tersebut jauh dari ajal kehancurannya (Kiamat) maka proses bencana kehancuran bumi akan berjalan dengan lambat, dan apabila bumi tersebut didekatkan dan semakin dekat ke ajal kehancurannya (Kiamat) maka akan semakin cepat bumi tersebut menunjukkan tanda-tanda kehancurannya (Kiamat).

Ketiga, hukum kemungkinan.

Tidaklah bencana itu datang menimpa manusia di berbagai belahan dunia, melainkan dengan izin Allah.

Firman Allah swt:

Artinya:

“Tidak ada suatu bencanapun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah…” (Q.s. at-Taghabun: 11).

Bencana kematian memang telah menjadi ketetapan Allah, ketika ajal kematian tiba maka tidak ada satupun yang bernyawa yang dapat menunda kematian tersebut atau menyegerakannya walaupun hanya sedetik. Namun ketika Iblis berdo’a memohon perpanjangan usia hingga hari dibangkitkan, dan do’a Iblis mendapat pengabulan dari Allah, maka bencana kematian Iblispun mengalami penundaan hingga hari kebangkitan (Q.s. al-A’raf: 13).

Sifat api yang panas dan membakar memang telah menjadi ketetapan Allah. Namun ketika Allah menyelamatkan nabi Ibrahim as dari percobaan pembunuhan dengan dibakar hidup-hidup di dalam api yang begitu besar yang dilakukan oleh penguasa negeri Mesir, sifat api berubah menjadi dingin dan tidak membakar (Q.s. al-Anbiya: 69).

Kelahiran manusia setelah Adam as memang melalui proses perkawinan sel sperma dengan sel telur dan ini telah menjadi ketetapan Allah. Namun ketika Allah hendak mengutus seorang Rasul kepada bani Israil, Allah ciptakan Isa as secara langsung sebagaimana Allah ciptakan Adam as. (Q.s. Maryam: 20-21 dan Ali-‘Imran: 45-47).

Untuk naik ke bulan memang memerlukan alat penerbangan dan ini telah menjadi ketetapan Allah. Namun ketika Allah memperjalankan hamba-Nya Muhammad saw hingga ke langit ke-7 dan Sidratul Muntaha, Allah mengirim malaikat Jibril dan seekor binatang tunggangan yang dapat berjalan super cepat hanya dalam waktu semalam (Q.s. al-Isra’: 1 dan an-Najm: 1-18).

Bencana tidak punya mata, bencana bisa menimpa siapa saja; orang-orang yang berdosa dan orang-orang yang tidak berdosa, anak-anak hingga orang tua, laki-laki maupun perempuan. Maka hendaklah kita saling nasehat menasehati selaku manusia global tanpa terkecuali yang diberi kepercayaan oleh Allah untuk mengemban tugas kekhalifahan, memelihara eksistensi manusia dan alam lingkungannya agar tidak musnah sebelum ajal kemusnahan (Kiamat) itu tiba dengan sendirinya.

Bagi orang-orang yang berdosa jadikanlah bencana itu sebagai cermin besar yang dapat menunjukkan siapa dirinya, bencana adalah raport merah yang harus segera diperbaiki. Sementara bagi orang-orang yang tidak berdosa, jadikanlah bencana sebagai alat uji untuk meraih nilai dan meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional hingga kecerdasan spiritual. Atau dengan kata lain, mendulang emas di balik tumpukan pasir dan berbatuan, insyaa Allah.

Selasa, 21 Oktober 2008

MENJADI MANUSIA YANG BERKEPRIBADIAN AL-FATIHAH

MENJADI MANUSIA YANG BERKEPRIBADIAN AL-FATIHAH

Firman Allah swt

Artinya;

“(1). Dengan (atas) nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (2). Segala puji (hanyalah) bagi Allah, Tuhan semesta alam. (3). Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (4). Yang menguasai di hari pembalasan. (5). Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. (6). Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (7). (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.s. al-Fatihah: 1-7).

Surah al-Fatihah mungkin tidak asing lagi di lidah dan di telinga sebagian besar kaum muslimin, karena surah ini selalu dibaca diberbagai tempat, di berbagai waktu, dan di berbagai keperluan; Di pondok-pondok pesantren, di madrasah-madrasah, dan di kampus-kampus yang berlabel Islam, para santri, para pelajar dan para mahasiswanya biasa membacanya di saat hendak memulai pelajaran atau perkuliahan. Di waktu hendak memulai membaca do’a dalam berbagai macam acara, seperti dalam berbagai macam acara peribadatan, dalam berbagai macam acara perkawinan, dalam berbagai macam acara syukuran, dalam berbagai macam acara kematian, dan sebagainya, baik itu diadakan di masjid-masjid, atau diadakan dirumah-rumah, atau diadakan di hotel-hotel, atau diadakan diatas kuburan-kuburan, para pemuka agama biasa mengajak seluruh jama’ah atau hadirin untuk membacanya di saat hendak memulai membaca do’a. Dan utamanya lagi di saat-saat melaksanakan sholat fardhu maupun sholat sunat, di setiap raka’at, kaum muslimin diwajibkan membacanya, karena tidaklah sah sholat bagi orang yang tidak membaca surah al-Fatihah. Hal ini sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw dalam haditsnya: “Tidaklah ada sholat bagi orang yang tidak membaca surah al-Fatihah”.

Namun ironisnya kalimat penegasan demi kalimat penegasan (affirmation) yang terdapat dalam surah al-Fatihah yang tidak asing lagi di lidah dan di telinga sebagian besar kaum muslimin ini, tidak mampu memberikan perubahan-perubahan yang berarti pada kepribadian sebagain besar kaum muslimin. Seperti contoh: Setiap hari umat Islam mengucapkan kalimat Bismillaahir rahmaanir rahiim minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam, namun seiring dengan itu masih banyak pula kita temukan umat Islam yang memuja ego(ananiyah)nya, dan melakukan perbuatan dan pekerjaan, serta hidup yang tidak dengan (atas) nama Allah, tidak sesuai dengan atau tidak berdasarkan atas kemauan atau kehendak Allah; Mereka tidak menfungsikan potensi hati, penglihatan, dan pendengarannya sesuai dengan kemauan atau kehendak Allah, seperti membaca dan merasakan ayat-ayat Syaithan untuk menutup dan mematikan cahaya iman, membaca hidayah-hidayah Allah (Qur’aniyah) untuk dijadikan bahan ejekan, hinaan dan merendahkan ketinggian al-Qur’an, dan membaca hidayah-hidayah Allah (Kauniyah) hanya untuk meraih kehidupan yang baik dan bahagia di dunia semata, membaca dan merasakan kondisi sosial untuk memanfaatkan kondisi tersebut demi kepentingan pribadinya semata, dan sebagainya. Mereka tidak menfungsikan potensi tangannya sesuai dengan kemauan atau kehendak Allah, seperti melukai, menyiksa dan membunuh manusia secara tidak hak, meraih rezeki Allah secara tidak halal (ex: mencuri, korupsi dsb), menyimpannya di tempat-tempat yang tidak halal (ex: lembaga-lembaga keuangan yang dalam prakteknya mengandung unsur riba), serta memperuntukkannya pada jalan-jalan yang sesat dan dibenci, dimurkai Allah. Mereka tidak menfungsikan potensi kakinya sesuai dengan kemauan atau kehendak Allah, seperti berjalan untuk mencari rezeki Allah secara tidak halal, berjalan menuju ke pasar untuk berbelanja barang-barang yang tidak halal, berjalan untuk memutus tali silaturrahmi, berjalan menuju tempat-tempat maksiat, dan sebagainya. Mereka tidak menfungsikan potensi perutnya sesuai dengan kemauan atau kehendak Allah, seperti memakan makanan yang tidak halal, meminum minuman yang tidak halal. Mereka menfungsikan potensi kemaluannya, menyalurkan kebutuhan seksualnya tidak sesuai dengan kemauan atau kehendak Allah, seperti berzina, berhubungan dengan sesama jenis. Mereka tidak memanfaatkan fasilitas jabatan, pengikut, dan kekayaannya sesuai dengan kemauan atau kehendak Allah. Dan mereka hidup; beragama, berpolitik, berekonomi, bersosial, berbudaya, dan bermiliter tidak sesuai dengan kemauan atau kehendak Allah. Mereka adalah orang-orang yang tidak percaya bahwa mereka hidup adalah dalam rangka menjalankan tugas dan tanggung jawab dari Allah swt, Bismillaahir rahmaanir rahiim.

Setiap hari umat Islam mengucapkan kalimat Alhamdulillaahi rabbil ’aalamiin minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam, namun seiring dengan itu masih banyak pula kita temukan umat Islam yang tidak selalu ber-tasbih (membersihkan fikiran-fikiran negatif) dan tidak selalu ber-tahmid (membangun fikiran-fikiran positif) terhadap Allah, dan apabila mereka dipuji; baik pujian itu datang dari dirinya sendiri, maupun pujian itu datang dari orang lain, maka mereka tidak kembalikan pujian-pujian tersebut kepada Allah, dan mereka menjadi bangga diri dan sombong, dan menjadi enggan untuk hidup berdampingan dengan orang-orang yang dianggap rendah pada pandangan manusia; orang-orang yang punya jabatan enggan hidup berdampingan dengan orang-orang yang tidak punya jabatan atau rakyat-rakyat biasa, orang-orang yang punya kekayaan enggan hidup berdampingan dengan orang-orang yang tidak punya kekayaan atau orang-orang miskin, orang-orang yang punya kelebihan enggan hidup berdampingan dengan orang-orang yang tidak punya kelebihan atau orang-orang yang hidup dengan kekurangan. Dan lebih jauh lagi, mereka enggan untuk tunduk pada perintah-perintah Allah.

Setiap hari umat Islam mengucapkan kalimat Arrahmaanir rahiim minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam, namun seiring dengan itu masih banyak pula kita temukan umat Islam yang apabila dihadapkan pada berbagai macam permasalahan hidup, seperti: Ketika dihadapkan dengan berbagai macam penyakit, terlebih lagi penyakit tersebut tergolong penyakit yang paling berbahaya dan mematikan menurut perhitungan manusia, mereka hadapi dengan sikap gelisah, karena mereka merasa takut obat yang disediakan Allah di muka bumi akan habis, dan pesimis (tidak berpengharapan akan sembuh) selama kematian belum benar-benar menjemputnya, karena mereka merasa tidak percaya akan rasa kasih sayang Allah yang tidak terbatas tingginya, dan mereka merasa tidak percaya akan kuasa Allah yang mampu merubah segala apa yang telah menjadi ketetapan-Nya, dan mereka cenderung berdiam diri atau pasrah, bahkan cenderung berusaha mengakhiri hidupnya. Ketika dihadapkan dengan berbagai macam kesulitan ekonomi, terlebih lagi kesulitan ekonomi tersebut tergolong kesulitan ekonomi tingkat tinggi; makanan dan minuman sudah tak terbeli, rumah tak punya, hutang tak terbayarkan, mereka hadapi dengan sikap gelisah, karena mereka merasa takut makanan dan minuman, rumah, dan kekayaan lainnya yang disediakan Allah di muka bumi akan habis, dan pesimis (tidak berpengharapan akan hidup sejahtera) selama perjalananan karirnya belum benar-benar berakhir, karena mereka merasa tidak percaya akan rasa kasih sayang Allah yang tidak terbatas tingginya, dan mereka merasa tidak percaya akan kuasa Allah yang mampu merubah segala apa yang telah menjadi ketetapan-Nya, dan mereka cenderung berdiam diri atau pasrah, bahkan cenderung mengakhiri hidupnya. Dan ketika dihadapkan dengan berbagai macam dosa, terlebih lagi dosa-dosa tersebut tergolong dosa-dosa besar, mereka hadapi dengan sikap gelisah, karena mereka merasa pengampunan Allah akan habis, dan pesimis (tidak berpengharapan akan terbebas dari dosa-dosa) selama pintu taubat yang diberikan oleh Allah belum benar-benar tertutup, karena mereka merasa tidak percaya akan rasa kasih sayang Allah yang tidak terbatas tingginya, dan mereka merasa tidak percaya akan kuasa Allah yang mampu merubah segala apa yang telah menjadi ketetapan-Nya, dan mereka cenderung berdiam diri atau pasrah, bahkan cenderung menjerumuskan diri ke lembah dosa yang lebih besar lagi.

Setiap hari umat Islam mengucapkan kalimat Maalikiyaumiddiin minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam, namun seiring dengan itu masih banyak pula kita temukan umat Islam yang tidak terikat hatinya pada hukum-hukum Allah; Mereka merasa senang, tenang dan bahagia apabila segala apa yang diperbuat atau dikerjakannya dinilai benar oleh hukum-hukum manusia, sekalipun hukum-hukum Allah menilainya salah. Sebaliknya mereka merasa sedih, gelisah dan menderita apabila segala apa yang diperbuat atau dikerjakannya dinilai salah oleh hukum-hukum manusia, sekalipun hukum-hukum Allah menilainya benar. Mereka mengontrol segala perbuatannya; baik perbuatan yang dilakukan oleh penglihatan, pendengaran, mulut dan hatinya, perbuatan yang dilakukan oleh tangan, kaki, perut dan kemaluannya dengan hukum-hukum manusia bukan dengan hukum-hukum Allah. Dan mengontrol hidupnya; baik kehidupan beragama, berpolitik, berekonomi, bersosial, berbudaya, dan bermiliter dengan hukum-hukum manusia bukan dengan hukum-hukum Allah.

Setiap hari umat Islam mengucapkan kalimat Iyyaakana’budu wa iyyaakanasta’iin minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam, namun seiring dengan itu masih banyak pula kita temukan umat Islam yang menyekutu(syirik)kan Allah secara nyata (jaliy), mereka menyembah dan berdo’a kepada selain Allah, seperti: Menyembah dan berdo’a kepada patung, gunung, pepohonan, hewan, manusia (ex; pahlawan, penguasa, wali, nabi, dsb), jin, malaikat, dan sebagainya. Mempercayakan nasib atau berlindung di balik kekuatan sihir, mantera dukun, ramalan ahli nujum, azimat, susuk, benda keramat, benda pusaka, dan sebagainya. Dan yang menyekutu(syirik)kan Allah secara tersembunyi (khafiy), mereka menyembah Allah, namun motivasi dibalik penyembahan itu tidaklah ditujukan semata-mata kepada Allah, seperti: Bersyahadah, mendirikan sholat, berpuasa, berzakat/berinfaq/bersedekah, berhaji, berjihad, berhijrah, dan sebagainya, namun motivasi dalam bersyahadah, mendirikan sholat, berpuasa, berzakat/berinfaq/bersedekah, berhaji, berjihad, berhijrah, dan sebagainya tersebut bukanlah semata-mata mencari ridha’, pujian, cinta, kasih sayang (rahmat), pahala, pengampunan, dan janji-janji Allah; kebaikan hidup di dunia, dan kebaikan hidup di akhirat, tetapi boleh jadi semata-mata mencari pujian manusia, atau boleh jadi semata-mata mencari perhatian orang-orang tercinta, atau boleh jadi semata-mata mencari keuntungan material, dan sebagainya.

Setiap hari umat Islam mengucapkan kalimat Ihdinash shiraathal mustaqiim, shiraathalladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalliin minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam, namun seiring dengan itu masih banyak pula kita temukan umat Islam yang tidak percaya kepada kebenaran hidayah Allah, dan cenderung menyia-nyiakannya. Hal ini terlihat dari sedikit sekali jumlah kaum muslimin yang punya kemauan dan komitmen yang kuat dalam mencari dan menekuni hidayah Allah, bahkan kebanyakan diantara mereka lebih percaya, serta kuat kemauan dan komitmennya dalam mencari dan menekuni kiat-kiat hidup yang ditempuh oleh orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan orang-orang yang sesat, seperti: kaum Atheisme, Materialisme, Komunisme Yahudiisme, Kristenisme, Sekularisme, Hedonisme, Kapitalisme, dan Imperialisme global.

Alhasil, sekalipun kalimat penegasan demi penegasan (affirmation) yang terdapat dalam surah al-Fatihah yang tidak asing lagi di lidah dan di telinga sebagian besar kaum muslimin ini, sekalipun ia selalu dibaca sedikitnya 17 kali dalam sehari semalam, namun jika semua ini hanya dijadikan slogan-slogan semata, maka bukan kepribadian al-Fatihah yang diraih, bukan kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat yang diperoleh oleh kaum muslimin secara keseluruhan. Sebaliknya, yang diraih oleh sebagian besar kaum muslimin adalah kepribadian orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan orang-orang yang sesat, dan yang diperoleh adalah derita demi derita dan kehinaan demi kehihnaan hidup di dunia dan di akhirat.

Al-Fatihah artinya pembukaan. Dikatakan pembukaan karena dengan surah inilah dibuka dan dimulainya al-Qur’an. Surah ini digolongkan dalam surah-surah Makkiyah, karena ia diturunkan di kota Mekkah. Surah ini terdiri dari 7 ayat, dan surah yang pertama-tama diturunkan secara lengkap diantara surah-surah yang ada di dalam al-Qur’an. Surah ini dinamakan juga dengan “Ummul Qur’an” (induk al-Qur’an) atau “Ummul Kitab” (induk al-Kitab), karena ia merupakan induk bagi semua isi al-Qur’an atau al-Kitab, serta menjadi inti sari dari kandungan al-Qur’an atau al-Kitab secara keseluruhan. Surah ini dinamakan juga “as-Sab’ul Matsaaniy” (tujuh yang berulang-ulang), karena ia terdiri dari tujuh ayat dan dibaca berulang-ulang dalam setiap sholat.

Begitu pentingnya surah al-Fatihah, maka tanpa kita sadari Allah hendak melazimkan atau membiasakan ayat-ayat al-Fatihah agar selalu terucap dari mulut-mulutnya kaum muslimin dan agar selalu terdengar di telinga-telinganya kaum muslimin; dari raka’at-demi raka’at sholat, hingga moment demi moment yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Namun mengapa pesan-pesan yang ada dalam surah ini tidak mampu memberikan warna dalam kehidupan kaum muslimin?”. Sungguh betapa ruginya kita kaum muslimin selaku orang-orang yang mendapat kasih sayang, mendapat perhatian besar dari Allah, yang wujud kasih sayang, wujud perhatian tersebut berupa dituntun (dihidayahi)nya kita kaum muslimin dengan ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah, namun tuntunan (hidayah) tersebut kita sia-siakan, sedikitpun tidak memberikan warna pada kehidupan kita, nauudzubillahi min dzaalik. Tuntunan (hidayah) tersebut kita jadikan tak ubahnya seperti angin yang berlalu; seketika angin itu datang, seketika itu pula pergi menghilang tanpa bekas. Setiap kali ayat-ayat al-Fatihah itu terucapkan, terdengarkan, setiap kali itu pula ia terlupakan. Memang benarlah kata Allah, sedikit sekali manusia yang berterima kasih. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Artinya:

“Katakanlah: "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati", (tetapi) amat sedikit kamu yang bersyukur (Q.s. al-Mulk: 23).

Dan memang pantaslah bagi orang-orang yang tidak mau berterima kasih; tidak mau memaksimalkan dalam menggunakan potensi-potensinya, terutama potensi hati, pendengaran dan penglihatan dijadikan penghuni-penghuni neraka Jahanam. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya:

Artinya:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah), mereka itu laksana binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka itulah orang-orang yang lalai” (Q.s. al-A’raf: 179).

Jika kita ingin tahu jawaban dari pertanyaan: “Mengapa surah yang biasa (lazim) diucapkan oleh kaum muslimin sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari semalam ini tidak memberikan perubahan pada kepribadian kaum muslimin?”. Pertanyaa ini coba kita jawab dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Sudahkah kita kaum muslimin mengerti arti dari setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut?”. Jika sudah, pertanyaan berikutnya: “Sudahkah kita kaum muslimin memahami pesan dari setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut?”. Jika sudah, pertanyaan berikutnya: “Sudahkah kita kaum muslimin mentafakkuri ayat-ayat Allah yang ada dalam setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut?”. Jika sudah, pertanyaan berikutnya: “Sudahkah kita kaum muslimin menzikiri asma’ dan kalam Allah yang ada dalam setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut?”. Jika sudah, dan pertanyaan terakhir: “Sudahkah kita kaum muslimin punya kemauan dan komitmen yang kuat untuk merefleksikan pesan-pesan setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut dalam karya (amal ibadah) kita sehari-hari?”.

Analoginya begini: “Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khatab, ada seorang sahabat yang sehari-harinya beliau bertugas sebagai hakim (qadhi). Karena letak wilayah kekuasaan hukumnya yang jauh dari pemerintahan khalifah Umar bin Khatab, beliau merasa bahwa segala tindak tanduknya tidak mendapatkan pengawasan dari khalifah Umar bin Khatab, merasa demikian hakim (qadhi) tersebut bebas berbuat aniaya (dzalim) kepada penduduk negeri setempat, dalam kasus kejahatan yang boleh dibilang sama beliau memperlakukan hukum secara tidak adil; untuk orang-orang yang kaya, hukuman bagi mereka dijatuhkan dengan seringan-ringannya, sementara untuk orang-orang yang miskin, hukuman bagi mereka dijatuhkan seberat-beratnya, bagai dua sisi mata pisau; tumpul keatas, dan tajam kebawah. Dengan perlakuan hukum yang tidak adil tersebut, banyak penduduk yang merasa kecewa dan dirugikan, dan berita ini akhirnya sampai ke telinga khalifah Umar bin Khatab. Dengan dipenuhi rasa kecewa dan marah dan dengan wataknya yang tegas, khalifah Umarpun mengambil satu tulang hewan dan menggoreskan pedangnya di tulang tersebut dengan goresan tegak lurus. Kemudian khalifah Umar bin Khatab memerintahkan pesuruh (kurir)nya untuk memberikan tulang hewan yang berisikan goresan tegak lurus tersebut kepada hakim (qadhi) yang berani berlaku tidak adil tersebut. Sesampainya tulang hewan di tangan hakim (qadhi) tersebut, hakim (qadhi) itupun bertanya kepada pesuruh (kurir) tersebut: “Untuk siapa dan dari siapa tulang ini?”. Pesuruh (kurir) itu menjawab: “Untuk kamu dari khalifah Umar bin Khatab”. Melihat pesan yang ada dari goresan pedang diatas tulang, dan mendengar nama khalifah Umar bin Khatab, mendadak hakim (qadhi) tersebut gemetaran penuh dengan rasa ketakutan. Alhasil, dengan mengerti arti goresan tegak lurus yang ada di tulang tersebut, dan dengan memahami pesan goresan tegak lurus yang ada di tulang tersebut yang memberi pesan:” Jika keadilan tidak ditegakkan oleh hakim (qadhi) tersebut, maka pedang khalifah Umarlah yang akan memberikan keadilan pada hakim (qadhi) tersebut, dan dengan mengenal watak khalifah Umar bin Khatab, dan dengan merasakan pedihnya sanksi yang akan dijatuhkan kepadanya oleh khalifah Umar bin Khatab, dan dengan kemauan dan komitmen yang kuat untuk berubah, akhirnya hakim (qadhi) tersebut menegakkan keadilan sampai akhir jabatannya”.

Pertanyaanya: “Bagaimana reaksi hakim (qadhi) tersebut, jika beliau tidak dapat mengerti arti dari goresan tegak lurus yang ada di tulang tersebut, jika beliau tidak memahami pesan goresan tegak lurus yang ada di tulang tersebut, jika beliau tidak mengenal watak khalifah Umar bin Khatab, jika beliau tidak merasakan pedihnya derita yang akan dirasakannya dari akibat sanksi yang akan dijatuhkan kepadanya, dan jika beliau tidak punya kemauan dan komitmen yang kuat untuk berubah?”. Jawabannya: “Tentu yang terjadi adalah sebaliknya; perubahan tidak akan terjadi, keadilan tidak akan ditegakkan”. Akibatnya, pedang khalifah Umarlah yang akan mengakhiri hidupnya.

Demikianpula halnya dengan surah al-Fatihah; dengan mengerti arti dari setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut, dengan memahami pesan dari setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut, dengan mentafakkuri ayat-ayat Allah yang ada dalam setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut, dengan menzikiri asma’ dan kalam Allah yang ada dalam setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut, dan dengan punya kemauan dan komitmen yang kuat untuk merefleksikan pesan-pesan setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut dalam karya (amal ibadah) kita sehari-hari, insya Allah kita kaum muslimin akan menjadi insan-insan yang berkepribadian al-Fatihah.

Sebaliknya dengan tidak mengerti arti dari setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut, dengan tidak memahami pesan dari setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut, dengan tidak mentafakkuri ayat-ayat Allah yang ada dalam setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut, dengan tidak menzikiri asma’ dan kalam Allah yang ada dalam setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut, dan dengan tidak punya kemauan dan komitmen yang kuat untuk merefleksikan pesan-pesan setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut dalam karya (amal) ibadah kita sehari-hari, maka kita kaum muslimin tidak akan menjadi insan-insan yang berkepribadian al-Fatihah, al-Fatihah hanya akan menjadi slogan-slogan semata. Benarlah, sungguh berbedalah orang-orang yang tahu dengan orang-orang yang tidak tahu. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya:

Artinya:

“…Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?". Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Q.s. az-Zumar: 9).

Dari permasalahan inilah coba kita belajar membaca setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah dengan metodologi sebagai berikut: Pertama, mengerti arti dari setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah. Kedua, memahami pesan dari setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah. Ketiga, mentafakkuri ayat-ayat Allah yang ada dalam setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah. Keempat, menzikiri asma’ dan kalam Allah yang ada dalam setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah. Kelima, merefleksikan pesan-pesan setiap ayat-ayat yang ada dalam surah al-Fatihah tersebut dalam karya (amal) ibadah kita sehari-hari.